Gerakan-gerakan Mahasiswa 1998
Mundurnya Muhammad Suharto, Naiknya B.J. Habibie
Dan Timbulnya Kekuatan Anti Reformasi
Pasca Revolusi Mei 1998.

Saya mohon maaf jika ada kesalahan2 atau kekhilafan2 selama saya menjabat Presiden", demikian Presiden Suharto pada pidato terakhirnya Kamis pagi pukul 9.12, tanggal 21 Mei 1998. Melihat korban2 jiwa, parahnya keadaan ekonomi, rusaknya kultur dan hancurnya lingkungan akibat praktek2 arogansi kekuasaan Suharto dan kroninya, maka kesalahan2 dan kekhilafan2 diatas tidak dapat dimaafkan melainkan harus mendapat ganjaran hukum lewat pengadilan yang bebas dari pengaruh pemerintah (atau siapapun) sehingga keadilan dapat ditegakkan dan situasi ekonomi politik dan sosial dapat kembali dibangun berdasar prinsip2 demokrasi dan HAM. Tulisan ini merupakan rangkuman dari laporan2 tentang gerakan2 mahasiswa dari X-Pos, Kompas dan sumber2 berita lain dari internet-online.
 

1. Aksi Civitas Akademika UI.

Gerakan2 mahasiswa sebagai wujud protes terhadap arogansi kekuasaan pemerintahan orde baru sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Aksi protes akibat krisis ekonomi tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa tetapi juga oleh kelompok intelektual misalnya aksi Suara Ibu Perduli yang diprakarsai oleh Dr. Karlina Leksono tanggal 23 Pebruari 1998 di Bundaran HI Jakarta. Aksi ini mempengaruhi sikap golongan kelas menengah atau kelompok profesional untuk turut bergerak (saat ini kelompok Suara Ibu Perduli sibuk membantu mengumpulkan barang2 kebutuhan pokok untuk para ibu dan anak yang tidak mampu; selain itu kelompok ini juga tengah sibuk membantu para korban perkosaan yang terjadi tanggal 13, 14 dan 15 Mei 1998).

Gerakan2 mahasiswa yang pada awalnya hanya bersifat sporadis tersebut meningkat pada tanggal 25 Februari 1998 ketika ratusan mahasiswa UI menggelar aksi protes terhadap pemerintah orde baru di Kampus UI Salemba. Keesokan harinya tanggal 26 Februari 1998 aksi protes UI terhadap pemerintah orde baru meningkat dimana ribuan mahasiswa dan segenap staf pengajar serta pegawai lingkungan UI yang dikoordinir oleh Senat Mahasiswa UI mengadakan aksi yang lebih besar di Kampus UI Depok. Dimulai dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, sekitar 500 mahasiswa berjaket kuning melakukan arak-arakan menge-lilingi kompleks kampus UI sambil mengajak mahasiswa dari fakultas2 lain. Aksi civitas akademika UI ini menunjukan sikap bahwa UI menolak pemerintahan orde baru. Barisan mahasiswa sepanjang hampir satu kilometer itu kemudian menuju pintu gerbang kampus, sambil berteriak "Hidup Demokrasi, Hidup Reformasi". Tugu selamat datang bertuliskan Universitas Indonesia lalu ditutupi spanduk putih bertuliskan "Kampus Perjuangan Rakyat" (tadinya "Kampus Perjuangan Orde Baru"). Iring-iringan itu urung keluar kampus, karena pintu gerbang telah diblokir satu batalyon aparat keamanan. Komandan Kodim Depok, yang memimpin barisan petugas keamanan mengancam bahwa ia mendapat perintah dari Pangdam V Jaya untuk menembak di tempat pelaku2 demonstrasi di luar kampus. Aksi yang dimulai sekitar pukul 11.00 berlangsung tertib dan berakhir sekitar jam 14.00. Aksi2 mahasiswa UI ini merupakan suatu gejala yang luar biasa sebab selama ini sikap politik UI terkenal (relatif) konservatif.

 
2. Aksi2 mahasiswa di kota2 lainnya.

Pada tanggal yang sama ribuan mahasiswa berbagai PTN/PTS di kota Bandung melakukan aksi protes di IAIN Sunan Gunung Djati di Cibiru, Bandung. Demonstrasi itu diprakarsai oleh Front Indonesia Muda Bandung (FIM-B) yaitu aliansi mahasiswa-mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Bandung.

Dalam aksi ini FIM-B jelas-jelas menolak Soeharto sebagai presiden. Spanduk besar mereka di panggung bertuliskan "Kami Mau Presiden Baru!". Dalam mimbar bebas mereka para demonstran meneriakkan: "Soeharto Naik, Harga Naik. Soeharto Turun, Harga pun Turun". Sementara itu juga berlangsung pula aksi di Purwokerto. Dimulai dengan aksi di depan gedung Perpustakaan Unsoed, Keluarga Mahasiswa Unsoed Purwokerto mengadakan aksi mimbar bebas ("Sidang Akbar Mahasiswa Purwokerto") di kampus Universitas Jenderal Soedirman yang diikuti oleh sekitar 500 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Purwokerto. Sejumlah poster dan spanduk yang menuntut reformasi politik terpampang di atas panggung. Diantaranya, berbunyi "Perubahan adalah Keharusan", "Atas Nama Rakyat, Kami Menuntut Perubahan", dan "Hentikan Kerusuhan, Penuhi Sembako." Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Unsoed, Arief Wicaksono, kemudian membacakan pernyataan sikap yang menuntut dihapusnya lima undang-undang politik yang dianggap menghambat demokrasi. Selain itu, pernyataan sikap itu juga mengutuk segala bentuk monopoli, kolusi, korupsi, dan nepotisme. Setelah melakukan mimbar bebas selama hampir satu jam, massa kemudian berjalan menuju pintu gerbang kampus Unsoed sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Juga pada saat yang sama ratusan mahasiswa UII Yogyakarta yang tergabung dalam KAKDR (Komitee Aksi Keprihatinan Derita Rakyat) mengadakan demonstrasi di kampus UII Cik Ditiro. Aksi mimbar bebas di UII ini, menyoroti krisis moneter dan penyebab2nya. Kesimpulannya sebagaimana yang dikatakan oleh Supriyanto, salah seorang koordinator KAPDR adalah: "Munculnya krisis moneter tak dapat dilepaskan dari praktek2 politik rezim orde baru; untuk mengatasi krisis saat ini mahasiswa UII menuntut reformasi dibidang ekonomi dan politik!!". Aksi-aksi mahasiswa itu bahkan menjalar sampai ke kota Kudus dimana ratusan (UMK) yang tergabung dalam LSAI (Lembaga Studi Amalan Islam) melakukan aksi di UMK (Universitas Muria Kudus), Desa Gondang-manis, Kec. Bae Kudus, memprotes pemerintah orba yang gagal mengatasi krisis ekonomi yang semakin parah. Demonstrasi ini diawasi oleh aparat keamanan, bahkan di setiap lorong kampus dijaga puluhan petugas keamanan, karena konon ada rencana para mahasiswa akan melakukan long march menuju gedung DPRD Kudus di Jalan Agil Kusumadaya. Karena penjagaan ekstra ketat itu, mahasiswa kemudian bersedia berkompromi dan mengutus delegasi mereka untuk berdialog dengan Ketua DPRD Kudus, Siegim Machmud. Pada keesokan harinya Jumat 27 Februari 1998 tidak kurang dari 1000 Mahasiswa ITS Surabaya melakukan demonstrasi menuntut agar anggota DPR menyuarakan aspirasi rakyat dan memprotes kegagalan pemerintah dalam mengatasi krisis yang berkepanjangan. Aksi ini mendapat pengawalan ekstra ketat dari pihak keamanan. Mahasiswa Unair menunjukkan keprihatinan terhadap kondisi Indonesia. Aksi itu dipimpin oleh bekas rektor Unair, Marsetio Donoseputro. Mereka meneriakkan: "Ganti Soeharto, Ganti Soeharto."

 
3. Aksi2 mahasiswa dan LSM selama SU.

Pada saat anggota2 SU istimewa MPR menerima laporan pertanggungjawaban Presiden 1 Maret 1998, Megawati Sukarnoputri dalam siaran persnya, di depan ratusan aktivis pergerakan demokrasi dan diplomat dari Kedubes AS dan Belanda menolak pertanggungjawaban tsb karena Presiden gagal melaksanakan amanat GBHN. Pertimbangan Mega, untuk sampai kesimpulan "menolak" pidato presiden itu, antara lain: ambruknya pembangunan ekonomi - dengan pertumbuhan yang surut ke titik nol, dan utang luar negeri mencapai 140 milyar dolar AS. Sementara di tengah kebangkrutan ekonomi negara, ada berita tentang kekayaan Presiden Soeharto yang mencapai 16 milyar dolar Amerika.

"Kekayaan Presiden itu seharusnya menjadi bagian dari pertanggungjawaban presiden," kata Mega. Sebelumnya, Mega sempat menuntut Kejaksaan Agung, agar mengusut kebenaran berita kekayaan Soeharto. Penolakan terhadap pidato presiden, juga muncul dari satu koalisi baru bernama KIPP-HAM (Komite Indonesia untuk Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia). KIPP HAM didukung oleh Yayasan LBH Indonesia, AJI, LAPASIP, PIPHAM, dan Elsam. Menurut KIPP HAM, pidato presiden mestinya mempertanggungjawabkan sejumlah peristiwa politik yang menyimpang dari konstitusi selama lima tahun terakhir. Peristiwa itu antara lain, pembredelan Tempo, Detik dan Editor; tragedi 27 Juli; terjadinya kekerasan kolektif di berbagai tempat di Indonesia dalam dua tahun terakhir. KIPP-HAM juga menyoroti banyaknya korupsi, kolusi, monopoli, dan nepotisme yang membuat krisis ekonomi berkepanjangan. Puluhan ribu aktivis dan mahasiswa berdemonstrasi menuntut reformasi politik, menentang terpilihnya Soeharto. Pimpinan pilihan mereka adalah triumvirat Megawati-Amien Rais-Emil Salim. Selain itu, penolakan terhadap pidato Pak Harto, juga merebak dalam bentuk aksi-aksi mahasiswa. Di Yogyakarta, misalnya, sekitar 500 mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, menggelar demonstrasi pada 3 Maret 1998. Mereka mem-bentang spanduk, yang antara lain bertuliskan, "Menuntut Pertanggungjawaban Rezim Orde Baru di bawah Soeharto." Aksi itu, tak hanya didukung mahasiswa, tetapi juga masyarakat sekitarnya. Mereka menurunkan slogan-slogan menarik, misalnya, "Turunkan Sembako. Turunkan Soeharto" Seorang dosen IAIN, Malik Madani, yang ikut dalam demonstrasi itu, menyerukan masyarakat intelektual untuk ikut dalam aksi ini."Tidak ada kata lain melihat keadaan ini, kita harus turun," katanya. Pada hari Kamis tanggal 5 Maret 1998 sekitar 15000 mahasiswa UGM turun lagi ke jalan untuk menolak Soeharto. Sedangkan di Jakarta, aksi menolak pertanggungjawaban Presiden kembali terjadi di UI; dan merembet ke kampus IKIP Rawamangun. Dalam aksi di IKIP, dekan-dekan di kampus itu, ikut turun menyuarakan pendirian mereka. Di Bogor pada hari yang sama mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Aldera, menggelar aksi di DPRD. Mereka menolak pertanggungjawaban Soeharto, dan meminta presiden diganti. Tapi, tak seperti masa-masa sebelumnya, di luar parlemen tantangan terhadap Soeharto justru meningkat. Ratusan aktivis Barisan Merah Putih 11 Februari 1998 menggelar aksi unjuk rasa menuntut turunya harga kebutuhan sembilan bahan pokok alias sembako, di beberapa jalan protokol ibukota. Pelaku aksi damai itu ditangkap aparat keamanan saat itu juga. Sebagian dari mereka diadili dengan pasal 510 KUHP, lalu divonis denda Rp. 10 ribu. Tapi, 122 orang lagi tetap ditahan, lalu dijerat dengan UU No. 5/PNPS/1963. Nasib serupa juga dialami enam aktivis SBSI dan Pijar Indonesia, yang berdemonstrasi di depan Gedung Sarinah, Jalan Thamrin, 9 Maret lalu. Pada tanggal 10 Maret ratusan aktivis pro-demokrasi, misalnya, menggelar Indonesian People Summit atau Kongres Indonesia. Rencananya, acara yang digelar selama dua hari itu akan mengeluarkan platform reformasi politik dan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Selain itu, Kongres Indonesia juga akan mengumumkan pemimpin pemerintahan versi mereka: yaitu, triumvirat Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Emil Salim. Sayang, Kongres Indonesia yang berlangsung di Taman Impian Jaya Ancol itu keburu digagalkan secara brutal oleh aparat keamanan. Ratna Sarumpaet, koordinator Kongres Indonesia, dan delapan aktivis bahkan ditangkap petugas Polres Jakarta Utara. Belakangan, Ratna dan kawan-kawan ditahan dengan dakwaan melanggar UU No.5/PNPS/1963 tentang Kegiatan Politik.
 

4. Aksi2 mahasiswa dan LSM setelah SU.

Penangkapan aktivis Kongres Indonesia pada tanggal 10 Maret 1998 tidak menurunkan gelombang protes menentang Soeharto, bahkan sebaliknya massa mahasiswa yang terlibat malah makin besar, hingga mencapai puluhan ribu orang. Pengangkatan Tutut Suharto sebagai mensos dan Bob Hasan sebagai menperin/perdag justru meman-cing kemarahan mahasiswa dan rakyat. Di kampus UGM Yogyakarta, contohnya, Kamis 12 Maret 1998, sekitar 50 ribu mahasiswa memadati jalan-jalan kampus. Sambil berteriak, "Hidup Reformasi, Ganti Soeharto," mereka memajang ratusan poster bertuliskan tuntutan reformasi politik dan ekonomi. Yang menarik, aksi keprihatinan itu diikuti pula oleh sejumlah dosen senior UGM, seperti: Amien Rais, Mochtar Mas'oed, Prof. Koento Wibisono (Ketua Kagama), Prof. Teuku Jacob (mantan Rektor UGM). Dalam aksi keprihatinan itu, Ketua Senat Mahasiswa UGM, Ridaya La Ode Ngkowe, mem-bacakan deklarasi keprihatinan Keluarga Mahasiswa UGM. Inti deklarasi: tanpa reformasi ekonomi dan politik secara menyeluruh, maka pembangunan nasional akan segera berakhir. Di akhir deklarasi, disampaikan enam butir tuntutan, diantaranya: turunkan harga kebutuhan bahan pokok dan kembalikan sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Amien Rais saat berpidato di depan sekitar 15 ribu mahasiswa UI pada tanggal 13 Maret 1998 menuntut presiden Suharto untuk memberantas nepotisme, korupsi, dan kolusi; melakukan reformasi politik, agar reformasi ekonomi berjalan lancar; memeriksa kekayaan pribadi pejabat negara, mulai bupati sampai presiden; membentuk kabinet baru yang terdiri dari orang jujur, profesional, dan mengabdi pada kepentingan rakyat. Untuk itu Amien Rais memberi waktu 6 bulan, jika pemerintah gagal menjalankan tuntutannya, maka mereka harus mengembalikan mandat yang diberikan rakyat. Sementara itu setelah SU MPR sekitar 500 mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta juga menggalang aksi reformasi di kampusnya. Begitu pula di kampus Institut Sains dan Teknologi, Akademi Pimpinan Perusahaan, Universitas Atmadjaya, dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP). Bentrokan serius juga terjadi di Kampus Institut Teknologi Surabaya (ITS), dan mahasiswa UNS Solo. Ratusan mahasiswa sempat melawan dengan melempar bongkahan batu, ember, dan botol air mineral ke arah petugas. Tapi, aparat malah bertambah beringas menggebuki mahasiswa. Di Bandung, ribuan mahasiswa Universitas Pasundan dan Universitas Islam Bandung berhasil membobol barikade aparat keamanan, lalu melaku-kan demonstrasi di Jalan Tamansari Bandung. Aksi reformasi tidak hanya berlangsung di Jawa, tapi juga menyebar ke kampus-kampus di Medan, Ujung-pandang, Padang, Lampung, dan Denpasar. Rabu tanggal 8 April 1998 aksi keprihatinan yang digelar secara damai oleh mahasiswa Unair Surabaya dijawab dengan brutal oleh aparat keamanan sehingga 16 mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit. Sepuluh diantaranya mengalami cedera berat, dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Cederanya 16 mahasiswa itu memperpanjang daftar korban "pembantaian" aparat keamanan di kampus-kampus. sebelumnya, bentrokan yang lebih berdarah terjadi Beberapa hari sebelum itu, aksi damai mahasiswa di kampus UGM, Bulaksumur, Yogyakarta diserang oleh aparat keamanan. Kebrutalan aparat keamanan itu berlangsung tanggal 2, 3, dan 4 April 1998 dan mengakibatkan seratus lebih mahasiswa dan pemuda cidera. Kebrutalan pihak militer dialami Timur Angin, 19 tahun, mahasiswa semeter dua Akademi Komunikasi Indonesia, Putera Seno Gumira Ajidarma (Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta-Jakarta). Timur dihajar habis-habisan oleh segerombolan polisi dan setelah tak berdaya, Timur diseret di sepanjang aspal dari depan Gedung Kagama ke UGD RS Panti Rapih yang berjarak 300 meter. Aksi-aksi terus berlangsung di Jakarta, Bandarlampung, Bandung, Solo, Ujungpandang, Surabaya dan Yogyakarta dan teriakan "Ganti Soeharto" terdengar di kampus-kampus itu. Di Kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Rabu pekan lalu digelar aksi gabungan berbagai universitas di Jabotabek dan perwakilan mahasiswa dari kota-kota di Indonesia lain. Pada saat yang sama, aksi juga digelar ribuan mahasiswa di Kampus UI di Depok. Di Salemba, aksi ribuan mahasiswa diwarnai ketegangan antara ratusan mahasiswa Universtas Kristen Indonesia (UKI) dengan aparat keamanan. Ratusan mahasiswa UKI yang kampusnya hanya dipisahkan Jl. Diponegoro dengan kampus UI Salemba, turun ke jalan untuk bergabung dengan rekan-rekan mereka di kampus UI. Pada hari yang sama di Surabaya, hampir 20 ribu mahasiswa gabungan 16 Perguruan Tinggi di Surabaya menggelar aksi serupa di Universitas 17 Agustus (Untag), Surabaya. Korban2 aksi damai pro-Reformasi mahasiswa di berbagai tempat di Indonesia di lawan oleh arogansi kekuasaan militer yang mengakibatkan dirawatnya ratusan orang dan menewaskan pemuda/mahasiswa pada tanggal 8 Mei di Solo dan Jogya; pahlawan2 yang tewas antara lain: 1.Rachmat Iqbal, mahasiswa UMS, tewas ditembak pada bagian kepala dan punggung 2.Agus Ariyono, Jln Nusa Indah, Karangnangka, Solo, ditembak. 3.Beni (20), Manahan, Solo, tewas ditembak. 4.Yudi, mahasiswa ISI Yogyakarta, tewas ditembak. 5.Tidak diketahui identasnya, tewas ditembak. 6. Iswanto, mahasiswa ATW, tewas. 7.Tidak diketahui namanya, diperki-rakan mahasiswa Fakultas Teknik UNS, tewas ditembak di dada. Selain itu aksi damai di Usakti 12 Mei 1998 menewaskan 1. Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur, angkatan 1996), 2. Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi, angkatan 96), 3. Heri Heriyanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 95) luka tembak di punggung, 4. Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 96) luka tembak di pinggang, 5. Vero (Fakultas Ekonomi, angkatan 96), dan 6. Hafidi Alifidin (Fakultas Teknik Sipil, angkatan 95) luka tembak di kepala.

13, 14 da 15 Mei 1998 terjadi peristiwa2: kerusuhan, penjarahan dan pemerkosaan yang terorganisir dimana korban peristiwa keji tersebut adalah golongan minoritas Tionghoa yang hingga kini belum ada tindakan kongkrit dan tegas dari pihak pemerintah untuk mengungkapkan dan menghukum segenap pelaku tindakan2 biadab itu. Menhankam/Pangab Jendral Wiranto mengatakan bahwa pelaku kerusuhan, penjarahan serta pemerkosaan itu terorganisir dan pelakunya harus ditindak dengan tegas. Hingga kini masyarakat masih dicekam oleh rasa takut, karena pelaku dan organisator pelaku teror masih berkeliaran. Bagian terbesar dari masyarakat Indonesia dan dunia internasional hanya bisa menunggu dan bersabar sampai tindakan kongkrit dari pemerintah sungguh2 dilaksanakan. Tindakan2 keji yang direncanakan dan dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir tidak saja melanggar prinsip2 kemanusiaan tetapi juga memperparah krisis ekonomi dan menodai citra bangsa Indonesia didunia internasional.

Jumat, 15 Mei Presiden pulang dari Konferensi dan kunjungan kenegaraan ke Mesir. Jakarta dalam keadaan kacau balau sehingga memperburuk krisis ekonomi . Presiden Suharto memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap para penjarah dan perusuh. Presiden mulai kehilangan kepercayaan dari pimpinan ABRI yang telah bersikap terbuka terhadap reformasi usulan mahasiswa. Sejumlah intelektual sudah memberikan masukan-masukan yang bermanfaat kepada pimpinan ABRI. Di antaranya tentang pencabutan aturan pengangkatan anggota MPR oleh Presiden, bahwa parpol harus diberikan kebebasan lebih luas, bahwa Presiden sebaiknya mengatakan secara jelas keinginannya untuk mundur setelah reformasi dinyatakan usai.

Sabtu/Minggu, 16-17 Mei Presiden sewaktu di Mesir mengatakan tentang rencananya menjadi pandito setelah lengser keprabon. Pernyataan ini dibantah sejumlah menteri, termasuk Menlu Ali Alatas. Akibat bantahan inilah yang justru membuka peluang bagi kalangan masyarakat untuk mengritik Presiden. Ketua Umum Golkar merangkap Ketua DPR/MPR Harmoko dikenal sebagai orang yang loyal kepada Presiden. Tapi tanggal 16 Mei itu Kosgoro -salah satu kino Golkar- telah meminta Presiden mundur. Harmoko ber-sama pimpinan DPR/MPR lain menemui Presiden di Jl Cendana dan memintanya mundur dengan perlahan sesuai dengan adat istiadat Jawa kuno.

18 Mei 1998: Ribuan mahasiswa mulai menduduki Gedung MPR mereka menuntut diadakan Sidang Istimewa MPR; dan akan bertahan di gedung itu, sampai Sidang Istimewa digelar. Sore harinya, Harmoko mengumumkan pimpinan DPR meminta Suharto mundur. Ia mengirim surat, agar Soeharto menjawab tuntutan mundur itu, paling lambat Jum'at 22 Mei 1998. Nurcholish Madjid juga bertemu Presiden dan menyarankan untuk mundur. Pernyataan Harmoko dimentahkan Pangab Wiranto, empat jam kemudian. 19 Mei 1998: Mahasiswa berbagai kampus terus berdatangan ke DPR. Jumlahnya mencapai sekitar 30.000 orang. Pimpinan DPR memperluas dukungan dengan mengajak Ketua Fraksi-fraksi. Mereka tetap meminta Soeharto mundur. Suharto coba membeli waktu, dengan menawarkan Komitee Reformasi dan berjanji meresufle kabinet. Ia mengundang beberapa tokoh ke Istana tapi Amien Rais tak diundang. 20 Mei 1998: Mahasiswa makin membanjiri DPR. Lebih dari 50.000 orang berkumpul di sana mendesak Soeharto mundur. Amien Rais, Emil Salim berpidato di depan mahasiswa, menolak resep Suharto. Mahasiswa membentuk Front Nasional untuk memperjuangkan reformasi. 21 Mei 1998: Suharto mundur dari jabatanya. Habibie dilantik jadi presiden. Semuanya berlangsung di Istana, bukan di MPR. Seolah-olah kedaulatan memang di tangan Suharto. Front Nasional menolak Habibie sebagai presiden. Mereka tetap bertahan di MPR. Sidang Istimewa perlu untuk meminta pertanggungjawaban Suharto. Ada banyak suara agar Soeharto diadili; dan hartanya dikembalikan kepada rakyat.

22 Mei 1998: Habibie mengumumkan susunan kabinet. Mayoritas anggotanya dari ICMI, tokoh HMI dan orang dekat Habibie. Nepotisme masih berlangsung, reformasi masih belum tuntas dan perjuangan belum selesai.
 

5. Bangkitnya kekuatan2 anti reformasi.

Kabinet reformasi memulai pekerjaannya dengan berbagai tututan reformasi dari beberapa anggota kabinet reformasi itu sendiri, antara lain adalah tuntutan untuk diadakannya Pemilu dengan UU Pemilu baru. Presiden B.J. Habibie membebaskan beberapa Tapol/Napol, mengadakan pertemuan dengan uskup agung Timtim Belo dan memberikan beberapa konsesi kepada rakyat Timtim, meng-umumkan akan diadakannya Pemilu akhir 1999 (tanpa jadwal dan struktur Pemilu yang jelas) yang dianggap banyak orang "terlalu lama". Sekalipun demikian krisis ekonomi masih terus berlanjut dan masyarakat bisnis belum percaya pada kesungguhan pemerintah B.J. Habibie (yang dikenal sebagai "big spender" alias penghisap devisa dan dana pem-bangunan, dan salah satu anggota utama Suharto's Cronies) untuk mengadakan reform dibidang ekonomi dan politik. Seyogianya Bulog dapat berperan aktif dalam menurunkan harga beras yang merupakan pintu keluar krisis ekonomi saat ini. Akan tetapi ketua Bulog Bedu Amang (yang tidak kompeten dibidangnya) tidak memperlihatkan kesungguhannya dalam menjalankan fungsinya. Seperti diketahui, Bedu Amang adalah bendahara ICMI yang saat kini mempunyai lobby yang relatif kuat dalam Kabinet Reformasi pimpinan ketua ICMI B.J. Habibie. Masyarakat mendapat firasat bahwa kekuatan2 anti reformasi mulai bangkit berkembang. Bahkan beberapa hari setelah Suharto mengun-durkan diri dari jabatan Presiden terjadi manuver2 anti reformasi berikut ini. (1) Sidang yang diketuai oleh hakim ketua Kol. CHK Sudji Suradi tentang penembakan 6 mahasiswa Usakti yang mengadili 2 anggota Polri (Lettu Pol. Agus Triheryanto dan Letda Pol. Pariyo), menurut pembela mereka AB Nasution, adalah sidang rekayasa pihak yang mengorbankan anggota Polri dan menyelamatkan para penembak dan otak pelaksana yang sesung-guhnya. (2) Pelaku dan pengorganisir kerusuhan2 dan pemerkosaan pada tanggal 13, 14 dan 15 Mei 1998 dimana sebagian besar korbannya adalah golongan minoritas keturunan Tionghoa, belum diminta pertanggung jawabannya, sekalipun Pangab ABRI mengakui bahwa ada pihak yang mengorganisir (ada dalangnya) dan pernah berjanji akan menemukan dan menindak tegas para pelaku kerusuhan2 yang pada hakekatnya hanya mem-perdalam krisis politik dan ekonomi saat ini sehingga merugikan seluruh bangsa Indonesia. (3) Jaksa Agung Atmonegoro (yang mendukung penuh tertuduh Iwik sehingga membebaskannya dari segala tuduhan2 dalam sidang rekayasa kasus terbunuhnya wartawan harian Bernas asal Jogya, Udin) yang berusaha melacak harta kekayaan mantan presidan Suharto dan keluarga yang diperoleh dari praktek2 korupsi, kolusi dan nepotisme, malah diberhentikan oleh presiden B.J. Habibie; dan digantikan oleh seorang perwira tinggi ABRI (mantan Kepala Bagian Pembinaan Hukum ABRI, yang diduga ikut merekayasa sidang kasus penembakan 6 mahasiswa Usakti) Mayjend TNI H. Andi Muhammad Ghalib, yang hingga kini tidak memperlihatkan keinginan-nya untuk meneruskan pekerjaan reformasi pendahulunya dalam melacak harta kekayaan keluarga besar Suharto. (4) Pertengahan Juli 1998 akan dilangsungkan munas Golkar dimana kelompok Tutut dan saudara2nya plus kelompok pro keluarga Cendana akan mendominir sidang (dalam sidang persiapan munas Golkar kelompok pro Cendana yaitu mantan Mayjend Ary Mardjono berhasil menggeser kelompok Harmoko) dan berusaha memenangkan calon2 mereka (Jend. Edie Sudradjat??) sebagai ketua Golkar sehingga kepentingan Suharto's Cronies tetap terjamin. (5) Hingga kini Presiden B.J. Habibie belum menetapkan jadwal kongkrit tentang penetapan UU Pemilu yang baru dan pelaksanaan Pemilu yang dijanjikan, sekalipun sudah banyak pihak yang menuntut diadakannya Pemilu untuk anggota MPR/DPR dan Presiden baru.pucuk menampilkan pimpinan kesungguhan pihak pemerintah (sekalipun menggunakan label "kabinet Reformasi") maupun ABRI Suharto dan kroninya telah banyak sekali menelan korban2 jiwa, meninggalkan keadaan ekonomi yang buruk dan membiarkan rusaknya lingkungan hidup. Selama Suharto dan kroninya belum diadili oleh pengadilan yang bebas, maka keadilan belum ditegakkan dan reformasi belum selesai. Oleh karena itu para mahasiswa dan LSMpun masih terus bergerak untuk menum-bangkan rezim KKN dan memperjuangkan terben-tuknya sistim demokrasi yang dapat memakmurkan sebagian besar rakyat Indonesia serta dapat men-cegah terjadinya praktek2 KKN. [TAMAT]

(R.Priyanto)


Kembali ke Daftar Isi